Peneliti Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah memprediksi, nilai tukar rupiah bisa tetap bertahan di angka 14.300 per dolar AS lantaran adanya berbagai faktor, seperti isu Bank Sentral AS The Fed yang akan menunda kenaikan suku bunga acuan pada Desember 2018 nanti.
Seperti diketahui, rupiah sendiri terus bergerak menguat selama sekitar tiga pekan hingga Jumat, 30 November 2018. Seperti tertuang dalam kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, tukar pada hari ini tercatat sebesar 14.399 per dolar AS.
"Kita ketahui bahwa seiring meningkatnya intensitas perang dagang AS vs China, pertumbuhan ekonomi AS justru mengalami perlambatan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan direspons oleh The Fed dengan menunda kenaikan suku bunga," ungkap Piter Abdullah kepada Liputan6.com, Jumat (30/11/2018).
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah secara terus menerus hingga menembus angka Rp 15.000 per dollar AS tidak dapat dipungkiri sudah menekan perekonomian Indonesia.
Salah satu dampaknya adalah memperberat transaksi perdagangan yang menggunakan mata uang dollar AS. Dengan semakin parahnya depresiasi rupiah ini, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan penggunaan mata uang alternatif pengganti dollar AS untuk transaksi perdagangan internasional.
“Mata uang yuan China dapat menjadi alternatif. Hal ini mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia,” ungkap Ilman dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (11/10/2018).
Berdasarkan data Statistik Kementerian Perdagangan, nilai impor nonmigas dari China merupakan 27,4 persen dari total perdagangan selama semester I 2018. Pemerintah perlu mendorong perusahaan importir yang melakukan perdagangan dari China untuk melakukan pembayaran dalam yuan Renminbi.